Selasa, 27 Desember 2011

Ahli Kubur Mantan Provokator

     'Amr bin Dinar ra suatu kali bercerita mengenai fulan, seorang penduduk Madinah yang memiliki saudara perempuan yang tinggal di ujung kota Madinah. Tiba-tiba saja saudarinya sakit keras. Namun, takdir Allah telah menentukan umurnya hingga perempuan itu pun meninggal. Fulan pun mengurus jenazahnya dan menguburkannya. 
     Setelah pemakaman selesai, Fulan  baru tersadara dia telah melupakan sesuatu. Dompetnya tertinggal di dalam kubur. Fulan pun meminta salah seorang sahabatnya untuk menemani dan membantu menggalinya kembali. Dompet itu pun berhasil ditemukan. Namun, rasa penasaran telah mendorongnya untuk melihat keadaan jenazah saudarinya.
"Minggirlah, aku ingin melihat bagaimana keadaan saudari perempuanku." Ia mengangkat beberapa gundukan tanah yang ada di liang lahat. Fulan pun kaget bukan kepalang ketika melihat semburan api yang keluar tiba-tiba. Segera saja Fulan merapikan kuburan dan pulang ke rumah. 
     "Ceritakanlah padaku bagaimana saudariku meninggal," tanya Fulan kepada ibunya seolah menginterogasi. 
     "Kenapa kamu masih saja menanyakan saudarimu padahal ia sudah hancur di dalam tanah."
     "Ceritakan saja kepadaku, aku ingin mengetahui perihal sebenarnya."
     Ibunya pun bercertia panjang lebar mengenai kebiasaan buruk saudarinya itu semasa hidup. Setiap kali usai berwudhu untuk shalat, saudarinya selalu melewati pintu-pintu rumah para tetangganya sambil menguping pembicaraan orang lain agar bisa mengadu domba. Setelah itu, maka jelaslah hal yang menyebabkan semburan api itu.  
     Jika berkaca pada situasi sekarang, sebenarnya banyak orang yang "hobinya" mirip dengan "saudari si fulan". Istilah kerennya "provokator". Bahkan, tidak jarang mereka memiliki privillege untuk menyiarkan provokasi melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Ironisnya, banyak konsumen media yang justru tidak sadar dengan provokasi tersebut dan terpancing emosi dalam memberikan tanggapan. Ibarat api yang disiram minyak tanah, provokasi yang awalnya samar lama-kelamaan menjadi nyaring terdengar. Memang senjatanya sederhana, hanya mulut. Namun, akibat yang ditimbulkan dari provokasi itu bisa sangat besar, bahkan cenderung merusak sampai-sampai dua negara bisa saja berperang karena provokator. Mungkin saat ini mereka belum merasakan langsung hukuman Allah akibat provokasi mereka, tapi suatu saat nanti bisa saja nasib mereka tidak berbeda dengan "saudari si fulan". Wallahu'alam.

Senin, 26 Desember 2011

Perempuan Pemintal Benang dalam QS AnNahl ayat 92

"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai-berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya golongan yang lain lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskanNya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu"
     Jika ditilik dari asbabun nuzul-nya, turunnya ayat ini disebabkan oleh kegentaran umat muslim ketika melihat jumlah pasukan Kaum Quraisy yang jauh lebih banyak saat berperang (Tapi, mohon maaf karena keterbatasan memori saya lupa perang yang mana). Namun, saya tidak ingin menceritakan tentang peperangan itu saat ini. Ada hal yang menurut saya cukup menarik untuk dibahas dari ayat di atas, yaitu kisah tentang seorang perempuan pemintal benang yang hobinya selalu menguraikan benang yang sudah dipintalnya kuat-kuat.
     Alkisah seorang perempuan yang nyaris menjadi "perawan tua" karena tidak kunjung dinikahi oleh laki-laki manapun. Namanya Rithah al-Hamqa dari Bani Ma'zum. Jika dilihat-lihat--sekalipun saya tidak pernah benar-benar melihatnya--Rithah tidak jelek-jelek amat, bahkan dia cenderung cantik jelita dan kaya raya. Sehingga, cukup aneh jika dia tidak kunjung menikah sampai usianya nyaris expired. Keheranan itu juga yang selalu muncul dalam diri Rithah setiap kali mematut-matut wajahnya di cermin hingga nyaris frustasi.
     "Oh, Ibu, Usiaku sudah lanjut, namun mengapa belum datang seorang pemuda meminangku? Apakah aku akan menjadi perawan seumur hidup?" iba Rithah suatu hari kepada Ibunya.
     Melihat kesedihan anaknya, Sang Ibu berupaya dengan segala macam cara agar Rithah bisa segera bertemu dengan jodohnya. Alih-alih berdoa lebih khusyuk kepada Allah, Sang Ibu lebih memilih mendatangi dukun-dukun. Namun, janji manis para dukun tidak membuahkan hasil. Jangankan laki-laki yang melamar, yang sekadar menggoda saja tidak ada.
     Rithah pun semakin tenggelam dalam kesedihannya dan lebih banyak menghabiskan harinya dengan melamun meratapi nasibnya di rumah. Tanpa diduga, setelah lama menanti seorang bibinya datang ke rumah bersama seorang laki-laki muda yang tampan. Akhirnya, Rithah yang sudah paruh baya pun menikah dengan pemuda tampan itu. Hatinya berbunga-bunga.
     Namun,semua tampak indah awalnya. Sang pemuda tampan dan miskin itu ternyata tidak lebih dari seorang cowo matre yang menginginkan harta Rithah. Ibarat kisah drama, pemuda itu pun kabur setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkan dan meninggalkan Rithah yang patah hati. Hidupnya pun seolah kembali ke titik awal, namun kali ini lebih menyedihkan. 
     Untuk mengubur kisah sedihnya itu, Rithah pun membeli benang dalam jumlah yang sangat banyak dan memintalnya. Alih-alih menjadikan hasil pintalannya itu sebagai pakaian yang indah, Rithah justru mencerai-beraikannya kembali sebagai pelampiasan kesedihan. Begitu seterusnya hingga akhirnya kisah ini diabadikan dalam Q.S. An Nahl ayat 92.
     Sebelum mengetahui kisah ini, saya berpikir "perempuan pemintal benang yang kemudian mencerai-beraikan pintalannya" itu adalah lambang kesia-siaan. Namun, lebih daripada itu Allah ingin memberikan pelajaran kepada  kita bahwa hanya kepada Allah kita boleh berharap, karena harapan yang ditujukan kepada dzat selain Allah, entah itu manusia, hewan, atau apapun hanya akan membuahkan kekecewaan seperti halnya Rithah al-Hamqa. Subhanallah, Maha Benar Allah dengan segala firmannya. 

Sumber:
Abdullah, Mas Udik. Teman dalam Penantian. hlm 128 - 131. 2010. Yogyakarta: Pro-U Media